Sebenarnya saya sangat penasaran dengan Teluk Pakedai gara-gara mendengar cerita dari dua orang teman kami yang juga penggila cycling. Dua beliau tersebut telah berumur di atas kepala 4, tetapi mereka memiliki semangat dan stamina yang luar biasa. Mereka menceritakan jika mereka telah cycling ke teluk Pakedai, dan menemukan air terjun di sebuah pegunungan dan batu yang menyerupai perahu milik Laksamana Cheng Ho.
Nah, mendengar itu kami pun berencana akan pergi ke teluk Pakedai. Hari kamis merupakan jadwal cycling saya berdua dengan hubby. Maka kami pun berangkat tepat pada pukul 10 siang hari. Kami melewati ujung Jl. Perdamaian, yaitu ujung daerah kota baru. Kemudian menyusuri sepanjang jalan Sungai Bemban, sampai di desa Punggur, kami melewati jalan Parit Berkat menuju tempat penyeberangan. Kurang lebih 3,5 jam kami sampai di tempat penyeberangan ke teluk Pakedai. Tetapi waktu telah menunjukkan hampir pukul 02 siang. Karena kami takut hari akan gelap dan tidak keburu waktu untuk pulang sampai ke jl. Sungai raya dalam, maka kami memutuskan untuk tidak menyeberang.
Dari tempat penyeberangan ini telah tampak pulau teluk Pakedai, termasuk sederet pegunungan di arah kiri pulau. Pemandangan yang sangat menarik dan pasti indah, itu bayangan saya. Hari itu, kami gagal untuk sampai ke teluk Pakedai. Meskipun begitu kami tetap cycling seharian penuh. Pulang kembali menyusuri jalan Parit Berkat, dan langsung melewati Parit Buluh untuk menuju ke Sei. Raya Dalam.
Karena masih penasaran dengan yang namanya teluk Pakedai, kami kembali melanjutkan perjalanan ke sana dua hari kemudian. Hanya kali ini kami menggunakan sepeda motor, pikirnya akan lebih cepat dan mudah-mudahan bisa sampai ke penggunungan dan air terjunnya.
Oke, pukul 10 siang kami berangkat lagi. Kali ini kami melewati ujung jl. Purnama, melewati jalan parit Leban, sempat pula makan durian di tengah jalan. Waduh, enak banget deh pokoknya! Hehehe…
Rutenya sama, setelah sampai di desa Punggur, kami kembali menyusuri sepanjang jl. Parit Berkat untuk sampai ke tempat penyeberangan. Akhirnya dengan kapal klotok kami pun menyeberang. Dengan biaya hanya 4.000Rp per sepeda motor.
Setelah menyeberang kami singgah ke kedai untuk beristirahat sebentar. Kami sempat menanyakan kepada pemilik kedai sekedar mencari informasi mengenai air terjun itu. Rupanya sungai yang di samping kedai itu adalah sungai Nipah. Sungai ini terkenal dengan banyak buaya. Hiiiii………
Lalu pegunungan tersebut bernama pegunungan Ambawang. Butuh jarak sekitar belasan kilo lagi untuk mencapai lokasi.
Sial yang pertama, saya sakit perut gara-gara minum teh es di kedai. Saya lupa jika sampai di perkampungan sebaiknya minum minuman berkaleng ataupun mineral water, agar lebih bersih dan bebas mencret. Oopppsss…..
Setelah dari kedai kami memutuskan untuk singgah ke pasar Teluk Pakedai terlebih dahulu, sambil makan siang di sana. Selesai makan siang kami baru akan menuju ke tempat pegunungan dan mencari air terjunnya.
Sial yang kedua, yaitu kami tidak menyangka jarak dari tempat penyeberangan menuju pasar teluk Pakedai itu sangat jauh rupanya. Ditambah lagi dengan kondisi jalannya yang super parah. Aduh, saya hampir menyerah. Tetapi akhirnya dengan bertahan dan jalan super pelan, kami pun sampai di pasarnya. Yaitu Dusun Mekar, Pasar Teluk Pakedai, Sungai Gorah.
Pasarnya kecil seperti pasar Punggur. Ada sebuah sungai yang disebut sebagai sungai Gorah. Kami pun mencari tempat makan di tepi sungai, tetapi lagi-lagi aduh, sampahnya menggunung. Inilah salah satu kejelekan masyarakat kita yang paling doyan untuk membuang sampah sembarangan dan di mana pun. WC, toilet atau yang disebut oleh orang kampung sebagai jamban itu dibangun di tepi-tepi sungai, mungkin anggapannya tak perlu menyiram kotoran dengan air, tinggal dibuang dan langsung hanyut oleh sungai. Sepertinya tidak ada budaya untuk memelihara kebersihan lingkungan sendiri sama sekali. Bukankah dengan demikian akan menciptakan pemandangan yang sangat tidak enak, bau busuk menyengat di mana-mana dan merupakan tempat berkembang biaknya sumber penyakit? Hikssss…….
Setelah makan siang, tanpa sengaja kami bertemu dengan seorang Ibu. Ketika berbincang-bincang, kami disarankan untuk melewati daerah parit Sedepung untuk menuju pegunungan Ambawang. Jaraknya lebih dekat, begitu kata Ibu itu.
Tanpa basa-basi yang berbuntut panjang lebar. Kami pun berangkat dan mencari jalan menuju paritSedepung. Tatkala berhasil menemukannya, kami pun dengan semangat yang luar biasa kembali melanjutkan perjalanan.
Sial yang ketiga. Hampir dua jam kami menyusuri jalan parit Sedepung, tetapi sepertinya jalannya ngeri-ngeri. Karena kanan-kiri jalan hanya hutan dan hutan. Jarang sekali ada rumah penduduk. Bahkan manusia pun jarang ditemukan. Ditambah dengan jalan setapaknya semakin lama semakin sempit, memang sih pegunungan Ambawangnya sudah tampak di depan meskipun kabur-kabur. Sempat kami menemukan sebuah rumah dan bertanya dengan pemilik rumah, tetapi malah orangnya tidak tahu sama sekali. Bahkan dia kebingungan ketika kami menanyakan tentang jarak ke pegunungan Ambawang. Yaccchhh……aneh, penduduk setempat kok tidak tahu yah? Capede!!!!!!
Karena merasa kurang meyakinkan dengan jalan tersebut, kami berubah haluan. Terpaksa kami berputar kembali menuju jalan menuju ke pasar tadi. Dengan demikian kami telah membuang waktu hampir dua jam. Setelah sampai di tengah jalan menuju pasar, kami kelelahan dan ini pinggang rasa mau patah. Karena kondisi jalan yang rusak parah. Sudah begitu, waktu tidak lagi memungkinkan bagi kami untuk melanjutkan perjalanan ke pegunungan Ambawang. Karena sebentar hari akan sore dan gelap. Jadi, akhir cerita kami gagal dua kali untuk sampai ke pegunungan Ambawang. Ampun…..
Tetapi, kami tetap akan melanjutkan perjalanan ke sana lagi, suatu hari pasti dapat! Semangat. 😉
Desa Teluk Pakedai, Pontianak, 01 Agustus 2012.